Mengukur Kinerja Perawat dengan Fee for Service

6 03 2013

Pengukuran kinerja profesi kesehatan di rumah sakit (dokter, perawat, bidan, gizi) yang paling populer adalah dengan Fee for Service atau mengukur seberapa besar kontribusinya terhadap pendapatan rumah sakit. Besar kontribusi itulah yang dijadikan sebagai dasar seberapa besar rumah sakit memberikan penghargaan dalam bentuk jasa pelayanan. Hampir semua rumah sakit di Indonesia menerapkan sistem itu.

Bahkan aturan main remunerasi di kementrian kesehatan ketika membahas tentang incentif juga menganut sistem itu. “—Penghasil uang akan mendapatkan langsung berdasarkan persentase”. Apakah 60%, 80% atau bahkan 90% tergantung kesepakatan dan kebijakan yang ditetapkan. Dengan sistem ini, maka dokter yang “pegang pisau”, tentu jasa pelayanannya lebih besar dibanding dengan dokter yang tidak “pegang pisau”. Profesi yag banyak melakukan tindakan, tentu akan mendapatkan lebih banyak dibanding profesi yang hanya menerima konsultasi atau kunjungan pasien.

Bagi profesi perawat di Indonesia, sistem yang seperti ini masih belum berlaku atau susah untuk diterapkan. Mengapa demikian, karena bila dilihat seberapa besar kontribusi perawat terhadap pendapatan rumah sakit, rata-rata kontribusinya tidak bisa diukur. Dari mana akan mengukur, kalau aktifitas perawatan yang sangat banyak itu, tidak terdefinisikan dan tidak memiliki harga.

Rata-rata peran perawat di rumah sakit sebatas pelengkap bagi profesi lain, sangat jarang yang fungsi mandiri perawat teraplikasikan dengan baik. Padahal teori-teori keperawatan yang mendorong perawat untuk mandiri sangat banyak. Tapi sayang, ketika berada di pelayanan, fungsi mandiri itu menjadi lemah, dan kebanyakan lebih menyukai pekerjaan yang menjadi rutinitas harian.

Patient Care Delivery System sebenarnya mengajarkan bagaimana perawat memerankan fungsi mandirinya. Dari melakukan pengkajian biopsikososiospiritual, menentukan masalah keperawatan, membuat perencanaan, melakukan intervensi dan evaluasi semua diarahkan untuk fungsi mandiri. Tapi alasan system yang tidak mendukung, kekurangan tenaga, kesibukan aktifitas di luar perawatan menjadi justifikasi untuk terjebak pada rutinitas harian. Bila ini yang terjadi, bagaimana kinerja perawat akan bisa dukur dengan cara yang populer?

Solusi yang bisa dilakukan untuk keluar dari persoalan itu antara lain :

  1. Me-redesain tindakan keperawatan dengan bahasa standar. Aktifitas perawat yang sangat banyak (dari pasien masuk sampai pasien keluar), perawat terlibat di dalamnya. Tapi sayang aktifitas yang sangat banyak itu tidak memiliki nama dengan bahasa yang standar. Akibatnya perawat merasa sibuk dan lelah, bahkan menjadi tumpuan komplain pasien, tapi tidak ada harganya. Penggunaan bahasa standar keperawatan (SNL) menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan untuk keluar dari persoalan ini.
  2. Setelah desain tindakan keperawatan dengan bahasa standar tersusun dengan baik, langkah berikutnya adalah membuat regulasi agar tindakan keperawatan itu secara hukum sah untuk diberlakukan. Regulasi itu bermacam-macam, dari mulai Perda (untuk RSUD), Pergub (untuk RS BLUD Propinsi), Perbup (untuk RS BLUD Kabupaten) atau sekedar Kebijakan Direktur atau Keputusan Ketua Yayasan untuk RS Swasta.
  3. Agar implementasi SNL memiliki akontabilitas yang baik, maka dokumentasi asuhan keperawatan dan asesmen kompetensi menjadi perangkat penting yang tidak bisa diabaikan. Kita memahami, dokumentasi asuhan keperawatan adalah bukti legal formal dari aktifitas perawatan. Sehingga dokumentasi yang baik akan mampu menunjukan kinerja profesi perawat.

Tiga langkah itu yang mungkin mampu mengawali profesi perawat di rumah sakit dapat dihargai secara layak sebagai profesi. Pembenahan di internal perawatan perlu dilakukan dengan CBT (Competence Base Training) dan CBA (Competence Base Asesment) setelah penerapan SNL, jenjang karirpun ditata dengan mengacu pada kompetensi dan setelah itu pengukuran kinerja perawat akan dapat dilakukan dengan cara yang populer, yaitu seberapa besar kontribusi perawat terhadap pendapatan rumah sakit. Bila pengukuran itu sudah didapat, maka tinggalah bertanya “berapa yang didapatkan dari kontribusi sebesar itu?”

Sekedar share saja, manajemen rumah sakit di tempat kami bekerja sudah memberikan 80% dari kontribusi yang diberikan kepada rumah sakit. Sebagai contoh, apabila kontribusi perawat dalam satu bulan sebesar Rp.600 juta, maka sebesar Rp.480 juta dikembalikan kepada profesi perawat sebagai jasa pelayanan dalam satu bulan itu. Soal besar atau kecil, sangatlah relative. Tapi yang pasti bahwa kami mendapatkan penghargaan berdasarkan kontribusi yang kami berikan ke rumah sakit. Kontribusi semakin besar, kamipun mendapatkan besar pula. Bahkan manajemen rumah sakit berkomitmen memberikannya setiap tanggal 17.


Aksi

Information

9 responses

3 09 2012
parasian siregar

Selamat pagi…. Salam sukses perawat

11 03 2013
ppih2012

Maaf, saya memang tidak membaca secara lengkap tulisan Saudara. Tapi, tampaknya saya harus sampaikan bahwa saya tidak sepakat tentang fee for service untuk menilai kinerja (yang berarti kontribusi ke rumah sakit berdasarkan uang yang dihasilkan individu ke rumah sakit). Sistem ini bila dipertahankan, menurut saya, akan menguatkan kapitalisme di rumah sakit. Dari sisi dokter, dia akan berusaha sebanyak-banyaknya mendapatkan pasien-pasien yang dilayaninya, entah dengan cara apapun. Termasuk mendorong dokter untuk rebutan pasien, menfitnah dokter lainnya. Saya kira akan lebih baik fee for service tersebut mulai tidak diterapkan lagi di rumah sakit-rumah sakit di Indonesia.

23 11 2013
muhammad syir

memang sangat sulit dalam penyusunan tarif tindakan keperawatan…. biasanya juga selalu didasarkan pada intervensi kolaboratif seperti jasa pasang infus, kateter, perawatan luka dll.
Saya sangat tertarik jika penyusunan tarif berdasarkan NIC…
Kalo boleh mohon dishare diemail saya (msyir@yahoo.com) contoh tarif seeprti yg saudara utarakan diatas>> kami sedang menyusun tarif RS RSUD Raden Mattaher Jambi

14 02 2014
Juliana Marpaung

apakah metode ini sudah diterapkan di rs bapak?…bila ia mohon share ke kita pak. tx

17 02 2014
Jason

Belum sepenuhnya Mba, tapi sistem sudah siap.

26 02 2014
Juliana Marpaung

SNL bisa kita nasional kan sehingga bisa digunakan di semua RS. bila sistem ini tepat untuk keperawatan kenapa tidak kita terapkan di RS kita. mohon share sistem ini pak. TX

26 02 2014
Juliana Marpaung

ketepatan rs kita sedang mengajukan tarif rencananya kita mengajukan tarif keperawatan mandirinya berdasakan kategori tingkat ketergantungan pasien seperti asuhan keperawatan minimal, partial dan total care. dan kolaborasi dg share persentase dari tindakan medis. mohon pendapatnya pak? terima kasih

29 06 2016
Zaeda

Sy zaeda perawat ners di RSUP di sumbawa yg baru2 ini BLUD pak. Tiap 3 bln jaspel dibagikan, namun slalu disertai dgn konflik sana sini, shg jaspel sring trtunda. Mohon bantuannya pak, kami butuh dokumen utk sistem perhitungan jaspel biar di RS kami tdk ribut trus, jika berkenan mohon dikirim ke email pak. Trima kasih byk.

29 06 2016
Zaeda

Sy zaeda di RSUP yg baru2 ini BLUD pak, kmi dibagikan jaspel 3 bulan sekali, namun slalu disertai konflik trkait sistem prhtungan jaspel yg byk pihak trutama pihak playanan tdk puas krena pihak manajemen jauh lbih byk dpt jaspel. Oleh karena itu sy mhon bantuannya supaya bpk berkenan mngrimkan dokumen trkait prhtungan jaspel yg baik via email. Mhon bntuannya pak, trima kasih byk.

Tinggalkan komentar